74 Dapur SPPG di Batam, Tapi Tak Ada yang Berani Tunjukkan Proses Penyajian MBG
Keterbukaan yang Tidak Ada dalam Dapur MBG di Batam
Dalam beberapa bulan terakhir, isu Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang diberikan kepada siswa sekolah menengah di Kota Batam menjadi perhatian masyarakat. Namun, sejumlah fakta mengejutkan terungkap mengenai keterbukaan dari 74 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang memiliki Surat Keputusan (SK) di kota tersebut.
Tidak satupun dari 74 SPPG tersebut bersedia untuk membuka dapur mereka bagi media agar dapat meliput proses memasak, penyajian, hingga penghidangan makanan. Keengganan ini menimbulkan banyak tanda tanya di tengah masyarakat yang khawatir akan kualitas dan keamanan makanan yang diberikan.
Salah satu contoh adalah dapur milik Yayasan Bhumi Lingga Sentosa di Seraya, yang menjadi pusat kontroversi setelah ditemukan jangkrik dalam makanan MBG. Meski telah menjadi sorotan, pihak yayasan menolak diliput oleh media. Saat Tribun datang ke lokasi, Senin (29/9), Kepala SPPG Yarmanto menyampaikan bahwa semua informasi harus ditanyakan langsung ke humas.
\”Hal-hal ini silahkan tanya ke humas langsung ya, itu bukan tugas saya,\” ujarnya singkat tanpa merespons pertanyaan lainnya. Sebelumnya, ketika ada laporan tentang kecoak dalam makanan, Yarmanto sempat membantah dengan mengatakan bahwa yang ditemukan bukanlah kecoak, melainkan jangkrik.
Tidak hanya dapur milik Yarmanto, tetapi juga dapur SPPG Batu Besar menunjukkan sikap serupa. Peliputan ke dalam proses penyajian makanan harus mendapat ijin dari BGN (Badan Gizi Nasional). Kepala SPPG Batu Besar, Eva Andriani, menjelaskan bahwa dapur merupakan kawasan steril yang tidak sembarang orang boleh masuk.
\”Dapur itu kawasan steril, tidak bebas boleh masuk. Bahkan kami, seluruh relawan ada SOP di dalam,\” ujarnya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Kepala SPPG Kampung Jabi, Cyntia. Ia mengatakan bahwa meskipun bisa memberikan informasi, peliputan ke dalam proses penyajian MBG harus mematuhi SOP yang ketat.
\”Tidak sembarang orang boleh masuk, itu kawasan steril. Harus ada ijin BGN,\” jawabnya.
Akar Masalah yang Sistemik
Koordinator SPPG Batam, Defri Frenaldi, mengakui bahwa akar permasalahan yang terjadi dalam kasus MBG disebabkan oleh faktor-faktor yang berbeda pada setiap kejadian. Menurutnya, hal ini dikarenakan banyak dapur yang tidak melaksanakan HACCP dan SOP dengan baik oleh manajemen SPPG.
HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Points) adalah sistem keamanan pangan yang seharusnya menjadi standar wajib dalam pengolahan makanan massal, terutama untuk anak-anak. Pengakuan bahwa banyak dapur tidak menjalankan sistem ini menjelaskan mengapa berbagai insiden terus bermunculan.
Dari total 74 SPPG yang memiliki SK di Kota Batam, saat ini 53 SPPG sudah aktif melayani 179.082 orang. Namun, keterbukaan dan transparansi dalam proses pengolahan makanan masih menjadi pertanyaan besar.
Perlu Transparansi dan Keterbukaan
Masalah yang muncul ini menunjukkan pentingnya transparansi dalam sistem pemberian makanan bergizi gratis. Masyarakat berhak mengetahui bagaimana makanan tersebut diproses dan disajikan. Dengan adanya SOP yang ketat, serta penerapan HACCP secara benar, kualitas makanan dapat lebih terjamin.
Selain itu, perlu adanya koordinasi yang lebih baik antara SPPG, BGN, dan pihak terkait lainnya untuk memastikan bahwa setiap proses sesuai dengan standar yang ditetapkan. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat terhadap program MBG dapat kembali pulih.