Lompong, Rebung, dan Jantung Pisang: Kenangan Pangan Desa yang Tak Tergantikan
Kenangan Pangan Desa
Di masa kecil saya, meja makan keluarga selalu penuh dengan hasil bumi yang segar dan alami. Ikan segar dari kolam, sayuran hijau dari kebun, hingga talas lompong yang tumbuh subur di pematang sawah. Bagi kami, lompong yang direbus dengan santan adalah hidangan istimewa: kuahnya gurih, batang mudanya lembut, dan aromanya menyebar ke seluruh rumah.
Meski saat itu masih ada sekat antara makanan yang dianggap \”bagus\” dan yang dianggap \”biasa\”, seperti lompong dan sejenisnya. Ada stigma bahwa makan rebung disamakan dengan makan tangga karena bambunya digunakan untuk membuat tangga. Makan jantung pisang dianggap identik dengan makanan zaman penjajahan Jepang, yang kala itu sangat sulit menemukan sumber makanan. Begitu juga dengan lompong dan kulit singkong, yang dianggap sebagai makanan ternak.
Namun bagi saya, semua itu adalah hidangan lezat yang penuh kenangan, hasil tangan ibu yang piawai mengolah apa yang tersedia di sekitar.
Keterhubungan dengan Tanah
Hidup di desa berarti hidup dalam keterhubungan erat dengan tanah. Sawah, kebun, dan kolam adalah sumber kehidupan sehari-hari. Talas lompong tumbuh ditanam di pematang, daunnya besar hijau muda, batangnya gemuk. Saat masih muda, sebagian batangnya dipetik untuk menjaga kelangsungan hidup tanaman, diolah dengan hati-hati agar getahnya tak menimbulkan gatal, lalu dimasak dalam santan bersama cabai dan rempah. Rasanya gurih sekaligus segar, menghadirkan aroma membumi.
Selain lompong, ada pula rebung tunas muda bambu yang renyah setelah direbus; jantung pisang yang lembut ketika diolah menjadi gulai atau urap; dan kulit singkong yang kerap dijadikan lauk, berbalut parutan kelapa berbumbu. Semua bahan itu datang dari sekitar rumah, tanpa harus dibeli di pasar. Itulah kemandirian pangan yang diwariskan orang tua kepada anak-anaknya.
Stigma Makanan Rendahan
Sayangnya, sebagian orang saat itu kerap membangun pembeda yang tak terlihat. Mungkin warisan dari zaman penjajahan yang serba sulit. Anak-anak lebih bangga bercerita tentang ayam goreng atau mie instan, meski keduanya tak selalu hadir di meja makan keluarga.
Saya pun sering merasa canggung, ada masa ketika saya berusaha menyembunyikan fakta bahwa menu makan siang di rumah hanya berupa sayur lompong. Padahal di balik semua itu, saya tahu bahwa hidangan itu lebih sehat, lebih bergizi, dan lebih jujur daripada apa pun yang kebanyakan orang banggakan.
Rasa yang Tak Tergantikan
Kini ketika saya mencoba mengingat kembali, ada detail rasa yang begitu melekat. Batang lompong yang lembut menyerap kuah santan, rebung muda yang renyah dengan aroma khas, jantung pisang yang menyerap bumbu hingga ke serat terdalam, dan kulit singkong yang berubah jadi lauk gurih nan harum. Semua itu menghadirkan kehangatan tersendiri, baik di lidah maupun di hati.
Ada filosofi sederhana dari cara orang tua mengolah makanan ini: jangan sia-siakan apa yang ada di sekitar. Bagi mereka, setiap bagian tanaman punya manfaat, asal kita tahu cara memperlakukannya. Getah yang gatal bisa dinetralisir, kulit yang keras bisa dilunakkan, rasa yang pahit bisa diseimbangkan. Itulah kearifan dapur desa, ilmu yang tidak tercatat di buku, tapi diwariskan dari generasi ke generasi.
Potensi yang Mulai Diingat
Belakangan saya mendengar bahwa makanan desa seperti talas lompong, jantung pisang, atau rebung mulai kembali dilirik, meski saya sendiri belum pernah menyaksikan langsung bagaimana ia disajikan di restoran modern atau festival kuliner. Entah benar atau tidak, kabar itu membuat saya tersenyum. Paling tidak, ada harapan bahwa pangan yang dulu dianggap remeh mulai mendapat tempat lebih terhormat.
Namun, bagi saya pribadi, nilai sejati makanan itu tidak bergantung pada statusnya di kota atau di meja restoran. Nilainya sudah ada sejak dulu: dari kesederhanaan, dari kebersamaan, dan dari rasa syukur yang diajarkan orang tua ketika mengolahnya.
Refleksi Kearifan
Perjalanan makanan ini sejatinya adalah perjalanan nilai. Apa yang dulu dianggap remeh ternyata menyimpan pelajaran tentang ketahanan pangan, kreativitas, dan penghargaan terhadap alam. Ia mengajarkan bahwa kemewahan sejati bukan terletak pada label harga, melainkan pada kedekatan kita dengan sumber pangan dan kebersamaan saat menikmatinya.
Apa yang dulu dianggap sepele ternyata adalah penopang kehidupan. Ia hadir di masa-masa sulit, memberi energi saat tak ada yang lain, dan mengajarkan arti syukur yang sederhana. Kini meski saya tak tahu pasti apakah lompong atau lauk kulit singkong sudah naik kelas di mata dunia kuliner, saya pastikan bahwa nilainya di hati saya tak pernah berubah.
Penutup
Bagi saya, lompong, rebung, jantung pisang, dan kulit singkong adalah bagian dari perjalanan hidup, saksi bisu masa kecil, dan pengingat bahwa kesederhanaan tak pernah benar-benar sederhana. Ada keringat, cinta, dan kearifan yang terjalin di setiap suapannya. Entah apakah suatu hari makanan ini benar-benar akan dipandang prestisius atau tetap dianggap sederhana, bagi saya nilainya sudah terpatri sejak dulu: sebagai harta budaya, sebagai kenangan, dan sebagai rasa syukur yang tak bisa digantikan.