Gaji Tak Cukup untuk Maju, Curhat Milenial Terjebak
Setiap akhir bulan, ada ritual yang sama: membayar tagihan, cicilan, dan kebutuhan pokok, lalu menatap sisa saldo di rekening dengan perasaan campur aduk. Cukup untuk bertahan hidup sampai gajian berikutnya, tapi terasa mustahil untuk \’maju\’, menabung untuk DP rumah, merencanakan pernikahan, atau sekadar berinvestasi.
Jika perasaan ini akrab, Anda tidak sendirian. Inilah realitas pahit yang dialami oleh mayoritas Generasi Milenial saat ini: perasaan terjebak dalam sebuah treadmill ekonomi, terus berlari kencang namun tak kunjung sampai ke tujuan.
1. Fenomena Gaji Stagnan di Tengah Gempuran Inflasi
Akar masalah paling fundamental adalah ketidakseimbangan antara kenaikan upah dan laju inflasi. Banyak Generasi Milenial yang merasakan kenaikan gaji tahunan mereka seolah tak berarti, karena langsung \’dimakan\’ oleh kenaikan harga kebutuhan pokok, biaya transportasi, dan sewa tempat tinggal.
Data menunjukkan bahwa dalam satu dekade terakhir, pertumbuhan upah riil (upah setelah disesuaikan dengan inflasi) di banyak sektor tidak secepat kenaikan biaya hidup. Akibatnya, daya beli menurun. Gaji yang lima tahun lalu terasa cukup, kini terasa pas-pasan hanya untuk menutupi pengeluaran dasar.
2. Mimpi Punya Rumah yang Makin Jauh dari Jangkauan
Salah satu tolok ukur \”kemajuan\” hidup yang paling konkret adalah kepemilikan aset, terutama rumah. Namun, bagi Generasi Milenial, ini terasa seperti mimpi di siang bolong. Lonjakan harga properti yang gila-gilaan, terutama di kota-kota besar, sama sekali tidak sebanding dengan kemampuan mereka menabung.
Gaji bulanan habis untuk biaya hidup, membuat alokasi untuk menabung DP rumah menjadi tantangan besar. Ini menciptakan siklus yang membuat frustrasi: semakin lama menabung, harga rumah semakin tinggi, dan target terasa semakin jauh.
3. Tekanan dari \”Generasi Sandwich\” yang Datang Lebih Cepat
Banyak dari Generasi Milenial kini berada di posisi terjepit sebagai \”generasi sandwich\”. Di satu sisi, mereka mulai membangun keluarga sendiri dan menanggung biaya anak. Di sisi lain, mereka juga memiliki tanggung jawab untuk membantu menopang kehidupan orang tua yang memasuki usia pensiun.
Beban ganda ini memberikan tekanan finansial yang luar biasa, membuat ruang untuk alokasi dana bagi pengembangan diri atau investasi menjadi sangat terbatas.
4. Jebakan Utang Konsumtif dan Tuntutan Gaya Hidup
Selain faktor eksternal, ada juga tekanan internal dan sosial. Kemudahan akses ke produk pinjaman online dan kartu kredit sering kali menjadi \”solusi\” instan untuk memenuhi kebutuhan mendesak atau sekadar mengikuti gaya hidup yang ditampilkan di media sosial.
Meskipun memberikan kelegaan sesaat, utang konsumtif ini pada akhirnya justru memperburuk kondisi keuangan. Ini bukan murni kesalahan individu, melainkan dampak dari lingkungan digital yang terus-menerus mendorong kita untuk mengonsumsi.
5. Dampak Nyata: Menunda Milestone Kehidupan dan Kesehatan Mental
Kondisi \”stuck\” secara finansial ini berdampak langsung pada keputusan-keputusan besar dalam hidup. Banyak Generasi Milenial yang akhirnya menunda pernikahan karena merasa belum siap secara finansial, menunda memiliki anak karena khawatir akan biayanya, atau terpaksa tetap tinggal bersama orang tua karena tidak mampu hidup mandiri.
Rasa tidak berdaya ini juga menggerogoti kesehatan mental, memicu stres, kecemasan, dan perasaan gagal karena tidak bisa memenuhi ekspektasi sosial tentang apa yang \”seharusnya\” dicapai di usia mereka.