Krisis Kripto Besar Akan Tiba 2026 atau 2027
Harga Bitcoin Melonjak, Namun Ada Peringatan dari Sejarah Pasar Kripto
Harga Bitcoin kini berada di level yang sangat tinggi, mencapai USD 117.000 atau sekitar Rp 1,9 miliar per koin. Kapitalisasi pasar kripto juga terus meningkat, melebihi USD 4 triliun atau sekitar Rp 66.600 triliun. Euforia dalam bull market ini sudah berlangsung selama lebih dari setahun. Namun, sejarah menunjukkan bahwa setiap masa keemasan selalu diikuti oleh kejatuhan besar.
Analisis data sejak 2011 menunjukkan bahwa pasar kripto telah mengalami empat musim dingin besar. Setiap fase penurunan ini dipicu oleh berbagai peristiwa, mulai dari peretasan bursa, runtuhnya ICO (Initial Coin Offering), kegagalan stablecoin, hingga kebangkrutan bursa besar.
“Setiap musim dingin selalu ditandai oleh penurunan harga jangka panjang, keluarnya investor, serta melambatnya pendanaan dan inovasi,” tulis laporan tersebut.
Riwayat Penurunan Harga Bitcoin
Pada tahun 2011, Bitcoin turun dari USD 32 atau sekitar Rp 532 ribu menjadi hanya USD 2 atau Rp 33 ribu setelah gelembung spekulatif pertama pecah. Pada 2014–2015, bursa Mt. Gox diretas dan harga Bitcoin anjlok dari lebih USD 1.100 atau Rp 18,3 juta ke sekitar USD 150 atau Rp 2,4 juta.
Musim dingin berikutnya terjadi pada 2018–2020, setelah harga Bitcoin sempat menyentuh hampir USD 20.000 atau Rp 333 juta, lalu anjlok ke USD 3.000 atau Rp 49 juta. Ribuan token ICO ambruk dan minat investor institusi menghilang.
Fase terbaru adalah 2022–2023, dipicu oleh runtuhnya Terra/Luna dan kebangkrutan FTX. Bitcoin rontok dari rekor USD 69.000 atau Rp 1,1 miliar pada November 2021 menjadi hanya USD 15.500 atau Rp 258 juta setahun kemudian.
Faktor Pemicu Musim Dingin Kripto
Menurut analisis, sebelum setiap musim dingin selalu ada periode euforia berlebihan, model bisnis rapuh, dan risiko yang terlalu terkonsentrasi. “Begitu satu kegagalan besar terjadi, kepercayaan lenyap dan likuiditas mengering. Itulah yang menyeret pasar ke fase penurunan panjang,” jelas laporan itu.
Beberapa faktor pemicu termasuk spekulasi berlebihan, dominasi satu platform seperti Mt. Gox, reli palsu ICO, hingga kejatuhan proyek besar semacam Terra dan FTX. Regulasi juga berperan, termasuk pembatasan dari Tiongkok pada 2013 hingga tindakan keras SEC terhadap ICO pada 2018.
Kapan Crash Berikutnya?
Situasi saat ini dinilai berbeda. Inflasi global memang mulai mereda, The Fed baru saja memangkas suku bunga pertama pada September 2025, dan pertumbuhan ekonomi masih rapuh. Akses institusional terhadap produk kripto juga membaik, dengan bank dan manajer aset makin aktif membangun infrastruktur.
Karena itu, menurut analisis, pasar kripto masih dalam fase awal siklus risiko. “Musim dingin tidak dimulai dari kondisi campuran seperti sekarang. Ia muncul setelah euforia ritel, leverage berlebihan, dan konsentrasi risiko mencapai puncaknya,” ungkap laporan itu.
Prediksi paling kuat, musim dingin kripto berikutnya kemungkinan baru akan terjadi antara kuartal IV 2026 hingga kuartal II 2027. “Easing atau jeda kebijakan biasanya memperpanjang selera risiko 12–24 bulan sebelum akhirnya berbalik. Saluran institusional justru menarik modal masuk dan menunda puncak, bukan mempercepatnya,” tulis BeInCrypto.
Namun, ada potensi musim dingin datang lebih cepat, bahkan pada semester I 2026, jika terjadi kombinasi faktor seperti lonjakan inflasi, krisis kebijakan fiskal, kegagalan stablecoin besar, atau pembatasan regulasi yang ketat di Amerika Serikat maupun Eropa. Sebaliknya, jika inflasi kembali terkendali dan alokasi institusi makin luas tanpa ada guncangan besar, pasar bisa bertahan hingga setelah 2027.
Investor Harus Tetap Waspada
Analis menyebut 2026 masih akan menjadi fase “risk-on”, di mana pasar kripto bisa terus tumbuh dengan dorongan kebijakan moneter yang lebih longgar dan infrastruktur institusi yang lebih kuat. Namun, investor tetap diingatkan untuk disiplin. “Musim dingin selalu datang tepat setelah pesta mencapai puncak,” kata laporan itu, mengingatkan para investor agar memiliki rencana keluar sebelum terlambat.