MBG: Strategi Pemerintah Memenuhi Kebutuhan Mikronutrien Generasi Alfa
Generasi Alfa dan Tantangan Gizi yang Harus Diperhatikan
Generasi alfa, istilah yang merujuk pada anak-anak yang lahir antara tahun 2010 hingga 2025, tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan teknologi, gaya hidup modern, serta akses informasi digital yang cepat. Mereka lebih mudah belajar, adaptif terhadap perangkat teknologi, tetapi juga menghadapi risiko baru yang tidak dialami generasi sebelumnya: masalah kualitas gizi.
Di Indonesia, masalah gizi generasi alfa tidak terletak pada akses informasi, melainkan pada pola konsumsi yang masih sangat bergantung pada makronutrien seperti karbohidrat, protein, dan lemak, sementara mikronutrien sering diabaikan. Padahal, vitamin, mineral, dan berbagai zat gizi mikro merupakan penentu utama kualitas tumbuh kembang.
Kebiasaan Lama: Fokus pada Karbohidrat dan Protein
Piring makan anak Indonesia rata-rata masih didominasi nasi atau karbohidrat lain, ditambah lauk protein hewani. Bagi banyak orang tua, porsi \”cukup makan\” identik dengan kenyang nasi dan lauk. Sebaliknya, sayur, buah, dan sumber mikronutrien lain sering hanya jadi pelengkap.
Fenomena ini sesungguhnya berakar pada budaya lama yang menempatkan karbohidrat sebagai \”makanan pokok\” dan protein hewani sebagai \”sumber gizi utama\”. Pola pikir itu diperkuat oleh keterbatasan literasi gizi. Menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, konsumsi sayur dan buah masyarakat masih sangat rendah: hanya 11,7 persen penduduk yang mengonsumsi sesuai rekomendasi WHO, yakni lima porsi per hari. Fakta ini menjelaskan betapa mikronutrien memang terpinggirkan dari pola makan keluarga Indonesia.
Dokter spesialis anak, dr. S. Tumpal Andreas, Sp.A, menekankan: \”Di Indonesia, selalu makro duluan, mikro kecil jadi nggak dibutuhkan? No. Dia kecil tapi sangat dibutuhkan, karena susah didapatkan, jumlah amat kecil, tapi harus dapat.\”
Masalah Gizi Ganda: Underweight dan Overweight
Kondisi gizi anak Indonesia kini menghadapi dua sisi ekstrem. Menurut laporan SSGI, prevalensi underweight pada anak usia di bawah lima tahun masih sekitar 17 persen, sementara overweight dan obesitas anak juga meningkat hingga 10 persen lebih pada kelompok usia sekolah.
Keluarga dengan keterbatasan ekonomi cenderung hanya memberi karbohidrat murah sebagai sumber energi, dengan protein dan mikronutrien terbatas. Akibatnya, anak berisiko underweight dan kekurangan gizi kronis. Sebaliknya, anak dari keluarga perkotaan dengan daya beli lebih tinggi justru sering terjebak konsumsi makanan cepat saji, minuman manis, dan camilan tinggi kalori. Hasilnya: overweight dan obesitas.
Kedua kondisi ini tidak bisa hanya dijelaskan oleh fokus makro, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi, akses pangan sehat, gaya hidup, pola aktivitas, serta edukasi gizi yang belum merata.
Mikronutrien: Nutrisi Senyap yang Krusial
Mikronutrien bekerja dalam jumlah kecil, namun fungsinya besar. Vitamin A penting bagi penglihatan, vitamin D dan kalsium menopang pertumbuhan tulang, zat besi membentuk sel darah merah, zinc memperkuat imun, dan yodium mendukung perkembangan otak.
Kekurangan mikronutrien tidak selalu langsung terlihat. Anak yang tampak aktif sekalipun bisa mengalami anemia karena defisiensi zat besi, yang menurunkan konsentrasi belajar. Kekurangan vitamin D dapat memicu gangguan tulang, sementara defisiensi yodium menurunkan potensi kecerdasan.
Inilah yang sering disebut sebagai \”malnutrisi tersembunyi\” atau hidden hunger—anak terlihat kenyang, tetapi tubuhnya kekurangan zat gizi penting yang menentukan masa depan.
Susu dan Alternatifnya: Penopang Mikronutrien
Dalam konteks Indonesia, susu menjadi salah satu sumber kalsium dan vitamin D yang mudah diakses. Susu juga menyediakan protein hewani berkualitas tinggi serta mineral lain seperti fosfor.
Namun, penting dicatat bahwa tidak semua anak cocok dengan susu sapi. Bagi anak dengan intoleransi laktosa atau alergi, orang tua perlu mencari alternatif seperti susu kedelai, susu oat, atau produk nabati lain yang difortifikasi kalsium dan vitamin D. Konsultasi dengan tenaga kesehatan menjadi langkah bijak untuk memastikan pilihan yang tepat.
Artika Sari Devi, mantan Puteri Indonesia, menuturkan bagaimana susu menjadi bagian dari pola hidup sehat kedua putrinya. Mereka aktif berolahraga, belajar di sekolah, dan tetap bertenaga berkat dukungan asupan nutrisi seimbang, termasuk susu. Pengalaman itu menunjukkan bahwa mikronutrien dapat dipenuhi bukan hanya dari makanan pokok, tetapi juga dari pilihan pangan tambahan yang cermat.
Generasi Alfa: Lebih Kritis terhadap Nutrisi
Fenomena menarik muncul pada anak-anak generasi alfa. Mereka tumbuh dengan akses teknologi sejak dini, bahkan sudah terbiasa membaca label nutrisi dengan bantuan aplikasi digital atau kecerdasan buatan. Sebagian anak mencari tahu kandungan gula, lemak, hingga nilai gizi susu atau makanan melalui internet.
Meskipun belum semua anak seperti ini, kecenderungan kritis terhadap makanan patut diapresiasi. Hal ini menandakan generasi alfa punya peluang untuk lebih sadar gizi dibanding generasi sebelumnya. Tantangannya, orang tua dan guru perlu mengarahkan pengetahuan itu agar tidak hanya sekadar membaca, tetapi juga dipraktikkan dalam pola makan sehari-hari.
Literasi Gizi: Peran Orang Tua dan Sekolah
Orang tua masih memegang peran utama dalam membentuk kebiasaan makan anak. Literasi gizi tidak boleh hanya berhenti pada teori, tetapi juga pada praktik: menyediakan buah di meja makan, memberi contoh mengonsumsi sayur, serta memilih camilan sehat.
Sayangnya, banyak keluarga masih mengandalkan makanan instan karena alasan praktis. Di sinilah pendidikan gizi harus diperkuat, baik melalui program sekolah maupun kampanye publik. Kantin sekolah misalnya, seharusnya tidak menjual makanan tinggi gula dan lemak saja, tetapi menyediakan menu sehat dengan harga terjangkau.
Negara dan Kebijakan Publik
Pemerintah Indonesia memang telah berfokus menurunkan angka stunting, yang pada 2022 tercatat masih 21,6 persen. Namun, fokus pada stunting saja tidak cukup. Persoalan gizi lebih (overweight/obesitas), anemia, dan defisiensi mikronutrien juga harus menjadi prioritas.
Kebijakan pangan perlu diarahkan tidak hanya pada ketahanan pangan berbasis beras, tetapi juga keberlanjutan pangan bergizi seimbang. Akses masyarakat terhadap buah, sayur, ikan, dan sumber mikronutrien harus diperluas melalui harga terjangkau, distribusi lancar, dan edukasi publik.
Dalam konteks ini, program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan pemerintah menjadi langkah strategis untuk memperbaiki kualitas gizi anak sekolah. Program MBG bukan hanya soal pemenuhan kalori harian, tetapi juga dirancang agar setiap porsi makanan mengandung gizi seimbang dengan memperhatikan unsur mikronutrien. Bila dijalankan dengan baik, MBG dapat menjadi instrumen penting untuk mendorong kesadaran gizi sejak dini, mengurangi kesenjangan akses pangan bergizi, serta memperkuat kualitas sumber daya manusia generasi alfa di masa depan.
Generasi Alfa, Bonus Demografi, dan Masa Depan
Pada 2030-an, generasi alfa akan memasuki usia produktif dan menjadi penopang bonus demografi Indonesia. Namun, kualitas sumber daya manusia tidak akan optimal bila masalah gizi tidak ditangani sejak dini.
Generasi yang cakap teknologi tetapi lemah fisik dan mental hanya akan menjadi beban. Sebaliknya, generasi yang sehat, berdaya tahan kuat, dan cerdas nutrisi akan menjadi aset bangsa dalam menghadapi persaingan global.
Saatnya Menyusun Piring Seimbang
Sudah waktunya masyarakat Indonesia keluar dari paradigma lama: \”yang penting kenyang nasi dan lauk.\” Piring anak Indonesia harus seimbang, dengan kombinasi karbohidrat, protein, sayur, buah, dan sumber mikronutrien lain.
Generasi alfa tidak boleh dibiarkan tumbuh dengan pola makan timpang. Hanya dengan kolaborasi orang tua, sekolah, masyarakat, dan pemerintah, kebutuhan gizi makro dan mikro bisa terpenuhi secara harmonis.
Dalam hal ini, program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sedang digulirkan pemerintah dapat menjadi fondasi penting. MBG tidak hanya memastikan anak-anak mendapat asupan kalori, tetapi juga menekankan pentingnya mikronutrien yang sering terabaikan. Jika dijalankan konsisten dan berkualitas, MBG bisa menjadi jembatan menuju perbaikan gizi nasional sekaligus investasi jangka panjang bagi masa depan bangsa.
Dengan begitu, generasi alfa akan tumbuh menjadi generasi tangguh: sehat jasmani, kuat mental, kritis terhadap informasi, dan siap memimpin Indonesia menuju masa depan yang lebih baik.