Remaja dan Gawai: Bangun Tidur Langsung Cari HP
Kecanduan Gadget dan Dampaknya pada Remaja
Gadget kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi remaja. Mulai dari bangun tidur hingga sebelum tidur, gawai sering kali menjadi teman setia yang menemani berbagai aktivitas. Namun, penggunaan yang berlebihan bisa menyebabkan beberapa masalah, termasuk kecanduan dan dampak negatif terhadap kesehatan mental.
Menurut data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), sekitar 34 persen dari 68 juta remaja di Indonesia mengalami kecanduan gadget. Kondisi ini membuat sebagian dari mereka merasa kesepian, bahkan satu dari empat remaja mengalami stres hingga gangguan kesehatan mental akibat penggunaan gawai yang terlalu dominan dalam kehidupan sehari-hari.
Pengalaman Indah dan Fadli
Indah (16 tahun), seorang siswi SMA di Jakarta Barat, mengaku bahwa gadget adalah barang pertama yang dicari saat ia bangun pagi. Dalam sehari, ia bisa menghabiskan enam hingga delapan jam hanya untuk bermain media sosial. “Biasanya buka TikTok, Instagram, kadang nonton YouTube. Kalau udah stres, scroll medsos itu bikin aku lupa masalah sebentar,” ujarnya.
Meski demikian, ia juga mengakui bahwa tidak semua aktivitas di gawainya sekadar hiburan. Ia sering menggunakan ponsel untuk mencari referensi tugas sekolah atau belajar lewat aplikasi edukasi.
Fadli (22 tahun), seorang karyawan swasta, menyebut gadget sebagai \”senjata multifungsi\” dalam hidupnya. Ia menghabiskan sebagian besar waktu untuk pekerjaan produktif, sementara sisanya digunakan untuk bermain game atau streaming. Namun, ia juga mengakui bahwa gadget bukan selalu menjadi solusi. “Waktu kesepian, kadang malah makin overthinking kalau lihat orang lain di media sosial. Tapi kalau gak ada HP, juga bosan banget. Serba salah,” katanya.
Upaya Detoks Digital
Kedua remaja ini pernah mencoba detoks digital. Indah memilih mematikan HP sehari penuh saat berlibur bersama keluarga, sementara Fadli biasanya menghapus aplikasi media sosial saat sedang overthinking. “Awalnya susah sih, tapi setelah sehari-dua hari ternyata biasa juga,” kata Fadli.
Meski begitu, keduanya tetap mendengar nasihat dari orang tua tentang batasan penggunaan gadget. “Mama sering bilang jangan kebanyakan main HP, nanti sakit mata. Tapi ya balik lagi, sekarang semua serba online, jadi ya susah dibatasi,” ujar Indah.
Peran Orang Tua dan Psikolog
Dalam acara diskusi sebelumnya, Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Mendukbangga) Wihaji menyampaikan bahwa kecanduan gadget dapat diintervensi melalui komunikasi hangat antara keluarga dan remaja. Menurutnya, penting untuk memberikan dukungan emosional dan membatasi penggunaan gawai secara bijak.
Psikolog klinis forensik dari Universitas Indonesia, Kasandra Putranto, menjelaskan beberapa ciri umum dari remaja yang mengalami kecanduan gadget. Salah satunya adalah penurunan nilai akademik karena terlalu banyak menghabiskan waktu di gadget. Selain itu, remaja juga bisa mengalami gangguan emosi seperti mudah marah, cemas, atau panik jika tidak memegang gadget.
Anak remaja yang kecanduan gadget biasanya juga kehilangan minat pada aktivitas lain dan tidak menyukai interaksi langsung dengan keluarga atau teman. Ciri lainnya adalah gangguan tidur dan masalah fisik seperti sakit kepala serta nyeri mata.
Tips untuk Mengatasi Kecanduan Gadget
Kasandra menyarankan beberapa langkah untuk mengatasi kecanduan gadget. Pertama, melakukan pemantauan mandiri dengan mencatat waktu penggunaan gadget setiap hari. Dengan cara ini, remaja bisa lebih sadar akan pola penggunaannya dan kemudian membatasi durasi penggunaan gadget.
Jika masih merasa sulit, remaja bisa mencari kebiasaan baru saat dorongan membuka gadget begitu kuat. Misalnya dengan membaca buku, menulis jurnal, atau berolahraga.
Terakhir, detoks digital juga bisa dilakukan saat melakukan kegiatan harian dasar seperti saat akan tidur atau makan bersama keluarga. “Yang paling penting adalah kesadaran diri bahwa penggunaan gadget sudah berlebihan, kemudian secara bertahap menggantinya dengan aktivitas lain yang lebih sehat,” kata Kasandra.