Sangat Ekspansif, Apakah Family Mart Akan Seperti 7-Eleven di Indonesia?
Pertumbuhan Gerai Jajan Modern di Indonesia
Kian hari, kehadiran gerai jajan modern kian menjamur. Dari sekian banyak pemain, Family Mart adalah yang paling menonjol ekspansinya. Menawarkan konsep ala Jepang, bisakah Family Mart bertahan lama di Indonesia?
Di kota-kota besar Indonesia, beragam gerai jajan modern atau yang dikenal sebagai convenience store kian menjamur. Sebut saja Indomaret Point, Lawson, Family Mart, Alfa X, K3Mart, Bright, hingga Circle K. Semua menawarkan ragam jajanan, kopi kekinian, hingga hidangan beku. Bahkan beberapa di antaranya beroperasi 24 jam penuh, sehingga sangat nyaman dijadikan tempat nongkrong.
Dari banyaknya brand, yang paling menonjol di antara mereka adalah Family Mart. Ritel asal Jepang ini kian menjamur di kawasan Jakarta, Bali, Surabaya, hingga Malang. Layaknya langkah ekspansi Mixue beberapa tahun lalu, setiap ruko kosong saat ini bak disulap menjadi gerai Family Mart.
Hal ini menunjukkan besarnya potensi bisnis segmen convenience store nasional. Apalagi, studi sebelumnya membuktikan bahwa sifat pelanggan convenience store cukup impulsif dalam berbelanja.
Pertanyaannya sekarang, seberapa kuat Family Mart mempertahankan eksistensinya di Indonesia yang saat ini sudah memiliki 450 gerai? Akankah ekspansi eksplosif ini bertahan atau malah mengulang cerita seniornya yakni 7-Eleven? Sevel dulu sempat menembus hampir 200 gerai dan jadi \’tren setter\’ convenience store di Indonesia, sebelum akhirnya gulung tikar.
Karakter Unik dan Relevan
Potensi bisnis ritel tanah air tidak perlu diragukan. Persaingan harga dan promo memang tak terhindarkan. Namun menariknya, Family Mart berhasil membangun citra unik dan relevan dengan masyarakat Indonesia.
Membanjirnya convenience store di Indonesia menandakan evolusi ritel modern yang tidak sekedar jualan, tapi juga menjelma menjadi agen pertukaran budaya dalam lanskap global. Strategi bisnis dilakukan dengan memperkenalkan produk-produk dari negara asal sekaligus tetap menjual produk lokal.
Family Mart, misalnya, dengan nuansa Jepang-nya, membidik ceruk pasar spesifik yakni penggemar budaya pop Jepang seperti anime (animasi) dan manga (komik). Meskipun tampaknya hanya menyasar segmen tertentu, strategi ini justru menghasilkan basis pelanggan setia. Bahkan, Family Mart pun konsisten hingga detail kecil seperti jingle. Sebagian liriknya dibuat berbahasa Jepang.
Belum lama ini, seluruh gerai Family Mart menjadi ajang promosi film animasi terkenal Demon Slayer. Lewat kerja sama business to business (B2B) sesama perusahaan Jepang yakni Sony Pictures, Family Mart bebas memutar berbagai audio resmi milik Demon Slayer tanpa repot mengurus royalti musik nasional.
Meskipun sangat bernuansa Jepang, manajemen juga terus berupaya adaptif menyesuaikan selera warga lokal seperti menghadirkan menu yang sangat Indonesia, yakni ubi rebus. Langkah Family Mart ini sesuai dengan teori diplomasi jalur tiga (track three diplomacy) Jepang, yakni pertukaran budaya yang langsung menyentuh masyarakat sehari-hari.
Belajar dari Kegagalan Seven Eleven
Konsistensi narasi brand yang dibangun Family Mart kontras dengan 7-Eleven yang tumbang pada 2017 silam. Di bawah naungan PT. Modern Internasional, Sevel kala itu menyediakan Wi-Fi gratis, tempat duduk, bir impor, dan minuman Slurpee yang hits di kalangan mahasiswa.
Sevel memang sempat menjadi \’top of mind\’ (nomor wahid) convenience store di Indonesia. Tapi model bisnis itu bisa langsung direplikasi dengan mudah oleh pesaingnya. Alhasil, tidak ada lagi yang menonjol dari Sevel. Selain masalah internal, permasalahan regulasi juga jadi penyebab. Pukulan telak dialami Sevel lantaran penjualan minuman keras yang dulu menyumbang sekitar 10–15% dari total pendapatan terhenti oleh aturan pemerintah. Hal yang dibenarkan oleh manajemen Sevel pada waktu itu.
Namun yang pasti, Sevel pada waktu itu gagal menghadirkan warna khas negara asalnya. Akibatnya, Sevel tidak cukup kuat untuk melawan dominasi warung atau toko lokal yang lebih memahami selera dan pola konsumsi masyarakat. Hal ini juga menjadi pelajaran tentang glokalisasi— penyesuaian produk global dengan selera lokal tanpa meninggalkan identitas.
Pelajaran untuk Pemain Lokal
Bagi pemain lokal seperti Indomaret dan Alfamart, segmen convenience store mungkin hanya sebatas aksi diversifikasi bisnis semata. Per Juli 2023, Indomaret punya lebih dari 23 ribu gerai (2024) di Indonesia. Alfamart pun memiliki lebih dari 18 ribu gerai pada 2023, melayani lebih dari 4 juta pelanggan setiap hari. Kedua brand ini menguasai lebih dari 80% segmen minimarket.
Indomaret dan Alfamart menjalankan pendekatan yang sangat berbeda dengan Family Mart. Fokus mereka menempatkan gerai di dekat perumahan, menjual barang kebutuhan pokok harian dengan harga bersaing, melayani pembayaran listrik, pulsa, BPJS, bahkan pemesanan travel umrah. Jangkauannya pun tidak bisa dibandingkan dengan convenience store asing seperti Family Mart.
Namun pendekatan Family Mart bisa juga ditiru oleh Indomaret dan Alfamart jika ingin berekspansi ke luar negeri. Alfamart misalnya, kini sudah memiliki 1.200 gerai di Filipina. Indonesia pun memiliki modal pop culture potensial seperti Indomie yang digemari di negara-negara Afrika seperti Nigeria dan Mesir. Kopiko yang muncul dalam drama Korea Beyond The Bar. Ada juga donat J.CO dan seblak yang populer di Filipina dan Thailand.
Pentingnya Adaptasi Budaya Lokal
Pembelajaran dari Family Mart dan Sevel adalah dominasi tidak hanya ditentukan oleh modal dan branding, tapi juga kemampuan menangkap peluang devisa dan keberlanjutan bisnis. Karakteristik dan budaya lokal penting untuk ditawarkan pelaku bisnis convenience store untuk bisa memberikan pengalaman unik bagi target pasar tujuan. Namun yang tidak kalah penting adalah adaptasi terus-menerus terhadap dinamika bisnis dan tren global jadi kunci agar bisa bertahan dan berkembang.