Tarif Listrik Oktober-Desember Tetap, Bagaimana Kebijakan 2026? Ini Kata Ekonom
Kebijakan Tarif Listrik di Akhir Tahun 2025
Pada akhir tahun 2025, isu tarif listrik kembali menjadi perhatian masyarakat. Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan tarif PLN setiap tiga bulan sekali. Untuk periode Oktober hingga Desember 2025, pemerintah memutuskan untuk menjaga tarif tetap seperti sebelumnya. Meskipun beberapa ekonom mengusulkan agar harga diturunkan atau diberikan subsidi tambahan.
Baik pelanggan prabayar maupun pascabayar masih membayar dengan tarif yang sama seperti yang berlaku sejak Januari lalu. Namun, apakah kebijakan ini akan terus berlanjut di masa depan? Berikut pandangan para ekonom mengenai hal tersebut.
Pandangan Ekonom tentang Penurunan Tarif Listrik
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyatakan bahwa ada alasan kuat untuk menurunkan tarif listrik saat ini atau mulai tahun depan. Ia menilai biaya input pembangkit telah turun, sehingga harga listrik seharusnya juga mengikuti penurunan tersebut.
“Biaya input pembangkit turun, jadi seharusnya harga listrik ikut turun, kecuali PLN ingin menutup utangnya yang sudah mencapai Rp 711,2 triliun,” ujarnya dalam wawancara.
Bhima merujuk pada asumsi APBN 2025 yang menetapkan harga minyak mentah sebesar 82 dolar AS per barel. Faktanya, harga minyak telah turun menjadi 62,4 dolar AS per barel pada 30 September 2025, atau selisih lebih dari 31 persen. Hal serupa terjadi pada harga batubara yang turun sebesar 25,5 persen dalam setahun terakhir.
Selain faktor energi primer, penurunan tarif listrik juga penting untuk menjaga daya beli masyarakat. “Jika listrik lebih murah, konsumsi rumah tangga bisa bertahan di level 5 persen, bahkan naik, tergantung besarnya penurunan tarif,” jelas Bhima.
Ia menambahkan bahwa inflasi juga akan lebih terkendali karena listrik menjadi komponen penting harga barang. “Ini krusial, apalagi harga pangan, khususnya beras, sedang mendorong inflasi naik di kuartal IV 2025,” tambahnya.
Subsidi untuk Rumah Tangga dan Industri
Menurut Bhima, sasaran utama kebijakan ini sebaiknya adalah rumah tangga dengan daya 900 hingga 2.200 VA, yang banyak dihuni pekerja bergaji UMP di kontrakan atau kos. Selain itu, industri padat karya juga perlu keringanan.
“Industri padat karya bisa diberi potongan tarif 30–40 persen, dengan selisihnya ditanggung pemerintah melalui kompensasi ke PLN,” katanya.
Perlu Ada Keringanan bagi Sektor Industri
Pandangan serupa disampaikan oleh Fahmy Radhi, ekonom energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia menilai pemerintah seharusnya menurunkan tarif listrik pada triwulan IV 2025, bukan mempertahankan yang ada.
“Kalau tarif turun, beban masyarakat langsung berkurang. Itu berbeda dengan insentif yang sifatnya menambah pendapatan, karena dampaknya tidak selalu terasa,” ujarnya.
Menurut Fahmy, penurunan tarif memberi efek nyata bagi daya beli rumah tangga di tengah tekanan ekonomi yang meluas. “Menurut saya, insentif berupa penurunan tarif ini penting agar rakyat mendapat keringanan,” tambahnya.
Ia juga menekankan pentingnya keringanan bagi sektor industri. “Industri saat ini kesulitan. Kalau ada diskon tarif, dampaknya bisa mendorong produktivitas dan membuka lapangan kerja baru,” jelasnya.